23 Maret 2009

Tasawuf atau Tak Sanggup?

Berikut sebuah dialog antara Asep dan Warya, Tokoh dalam cerita ini hanya fiktif belaka, nama dan kejadian telah disamarkan atas persetujuan yang bersangkutan: :D, semoga kita mendapat secerca ilmu yang bermanfaat di dunia maupun akhirat.
"Kang, Bagaimana nih keadaan negara kita ini?, sepertinya tambah ke sini malah tambah kacau", tanya Warya kepada kakak sepupunya, Asep.
"Negara yang mana?", Asep balik bertanya.
"Negara kita, Indonesia", jawab Warya. Beberapa waktu Asep temenung mendengar ucapan Warya sambil terus menghisap rokok yang mungkin sudah tinggal dua hisapan lagi.
"Negara kita, yah?", kata Asep dengan nada penuh pertanyaan, sambil tetap menerawang memandangi kepulan asap rokok yang dikepuskannya.
"Iyah, negara kita", kata Warya menegaskan, namun Warya telihat agak bingung melihat kelakuan sepupunya itu.
"Mana sertifikatnya, War?", tanya Asep sambil mematikan api pada rokok yang sudah sangat pendek.
Ditanya begitu Warya tambah bingung, yang tadinya cuma agak bingung sekarang sudah benar-benar bingung.
"Maksudnya, Kang?", tanya Warya. Asep cuma mengangguk-anggukkan kepala lalu mengambil bungkusan rokok keretek dan mengambilnya satu batang, kemudian menyalakannya dan terus melihat ke arah Warya.
"Iyah, mana sertifikatnya?", tanya Asep seperti mempermainkan Warya. Warya hanya termenung.
"Kamu tadi bilang negara kita, sedangkan kata kita sendiri menunjuk terhadap arah kepunyaan atau kata kepemilikan, terus kata negara diikuti kata kita yang berarti negara kepunyaan kita, nah Akang mau tahu, mana sertfikatnya, kalau memang negara itu milik kita?", kata Asep. Warya termenung sebentar.
"Yah enggak ada, Kang, ada juga KTP", kata Warya.
"Eh, tapi Kang maksudnya apaan sih ngomong kayak gitu?", tanya Warya lagi.
"Dalam Agama dijelaskan, bahwa tidak ada satupun milik kita, semuanya hanya milik Allah, termasuk kita. Nah kamu tadi bilang negara kita, sedangkan dari kalimat sebelumnya dapat diketahui bahwa negara Indonesia, atau negara lainpun tetap kepunyaan Allah. Jadi mungkin dalam berbahasa yang harus kita benahi jangan sampai maksud yang kita utarakan berbeda dengan pemahaman yang tiba pada orang lain, tapi bahasa yang keluar dari kita lain juga dengan maksudnya", jelas Asep pada Warya. Warya manggut-manggut tanda mengerti.
"Betul yah Kang, mungkin tadi tuh maksudnya negara yang kita diami yaitu Indonesia, kalau begitu gimana Kang?", tanya Warya.
"Nah kalau gitu tepat, tapi kamu juga lebih baik mengetahui dulu yang lebih kecil dari negara Indonesia yang kamu diami itu. Negara Indonesia itu terlalu luas untuk dipikirkan, sedangkan kita itu bukan aparat pemerintahan negara, nah kalau kita sekarang memikirkan Indonesia apa ada yang menggaji kita, mending jadi anggota DPR yang mikirin negara juga digaji, nah kalau kita?", kata Asep.
"Bukan begitu maksudnya Kang, kita kan sebagai warga negara apa salahnya sih memikirkan negara Indonesia ini, toh kita diami?", tanya Warya.
"Iya Akang ngerti, itu merupakan perhatian dari warga negara yang baik, yang memikirkan negara yang dicintainya, tapi apa itu dapat menjadi kebaikan bagi dirinya. Gimana kalau gini, misalnya sekarang kita ngomongin negara ngalor ngidul, padahal dirumah ada tanggungan, seperti anak dan istri yang harus setiap harinya kita kasih uang yang istilahnya agar dapur tetap ngebul. Nah kita disini ngomong tidak menghasilkan apa-apa, malah uangpun tidak kita dapat, nah jika itu dijadikan perbandingan kita pilih yang mana apa akan ngomongin negara atau kita berusaha dalam mencukupi kebutuhan hidup?" jelas Asep.
"Ya lebih baik bekerja, Kang", jawab Warya.
"Nah itu jelas, kan," komentar Asep."Eh Kang, tadi akang bilang kita lebih baik tau negara yang lebih kecil dari Indonesia, negara mana lagi Kang?, propinsi, kota, kecamatan, kelurahan? yang mana kang?", tanya Warya seperti keheranan.
"Bukan itu, kalau itu mah sudah termasuk pada negara Indonesia, yang ini mah lebih kecil lagi namun lebih leluasa bergeraknya dari pada negara Indonesia sampai-sampai dapat menemui negara-negara yang lain, negara itu adalah Negara badan. Setiap diri dibarengi oleh negara badan, baik kamu, Akang, dan yang lainnya pun dibarengi juga oleh negara badan. Nah sekarang kita berbicara, bertemu karena adanya negara badan, jadi negara badan dan negara badan bertemu, malahan mah bisa langsung ngobrol", Asep menjelaskan pada Warya.
"Tapi Kang, kalau negara mah kan ada penghuninya, kalau negara badan apa saja penghuninya?" Warya terus bertanya.
"Negara badan sangat banyak penghuninya dari mulai anggota tubuh yang terlihat dan yang tidak terlihat, juga yang dirasakan seperti panca indra, tenaga, keinginan, kebutuhan, ketidakinginan, senang, gembira, sedih, rindu dan lainnya lagi yang mungkin sangat banyak dan kita tidak mungkin mengungkapnya dalam satu hari atau mungkin tidak terhitung jumlahnya oleh kita, nah apakah itu sudah kita syukuri? atau jangan-jangan kita baru disadarkan pada hal tersebut, tapi itu lebih baik dari pada yang belum menyadari", tegas Asep sambil tersenyum.
"Nah jika bicara negara Indonesia, sebenarnya Negara Indonesia itu tidak apa-apa, yang apa-apa itu isi dari pada negara Indonesia, tapi kita yakini bahwa hal itu tidak terlepas dari ketentuan kepunyaan Allah, yang lebih penting mah bagaimana setiap negara badan berbuat, bertingkah laku dalam negara yang luas seperti Indonesia, apakah banyak melakukan kebaikan atau kejelekan. Kayaknya mah jika setiap negara badan yang ada di negara Indonesia berbuat baik pasti di Indonesia tidak akan kacau", kata Asep.
"Oh, kesitu toh arahnya", kata Warya sambil tersenyum.
"Wah si Akang, nyampe kesitu yah pemikirannya", kata Warya kagum.
"Jadi War, akang tau akan sesuatu itu ditaukan oleh kehendak Allah, bukan akang tau sesuatu itu sok tau", Asep menjelaskan sambil tetap merokok.Warya tertawa ngakak mendengar ucapan Asep seperti itu. Warya manggut-manggut lagi, kemudian ia tersenyum.
"Kang, kalau kata orang mah akang teh termasuk ahli tasawuf, karena akang berpikiran sampai sejauh itu, yang saya rasa mah jarang diketemukan orang berpikir sampai sejauh itu", kata Warya sambil tetap manggut-manggut.
"Bukan tasawuf akang mah tapi tak sanggup", kata Asep sambil mengepuskan asap rokok yang dihisapnya.
"Wah si akang mah bisa aja. Iya yah, tak sanggup berbuat dosa, bukan begitu kang?" tanya Warya.
"Eh, akang mah tak sanggup itu karena akang ditaukan bahwa sanggup dan tak sanggup itu kepunyaan Allah, akang hanya menikmati saja dari sanggup dan tak sanggup kepunyaan Allah itu", kata Asep.
"Wah wah wah, si Akang", Warya menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Kang nanti saya mau belajar lagi ah sama Akang", pinta Warya pada Asep.
"Yah, kita sama-sama belajar, untuk menemukan kebenaran dan ketepatan dalam hal kita beribadah", kata Asep singkat.
"Iya yah Kang. Eh Kang saya mau pergi dulu ada urusan yang belum diselesaikan", kata Warya sambil menyodorkan tangan mengajak salaman pada Asep, kemudian keluar rumah dan pergi meninggalkan Asep.
"Asalamu'alaikum", kata Warya.
"Wa'alaikum salam", jawab Asep.